Minggu, 11 September 2011

Masa Lalu yang Terulang Kembali part 4

Alvin membuka pintu, tiba-tiba saja ada teriakan dari luar. Alvin melonjak kaget. Gadis manis berkulit putih jatuh tersungkur kebelakang. Salah satu tangannya memegangi keningnya yang memerah, dan tangan yang satunya lagi membantunya agar bisa berdiri dari duduknya.
   Alvin menganga melihat gadis itu, “Elo….”
   Gadis itu berdiri lantas menatap Alvin dengan kening berkerut. “Kenapa kamu ada di ruang UKS? Sakit?”
   Alvin mengangguk, “tapi sekarang udah baikan kok. Eh jidat lo gak apa-apa kan?” Alvin menyentuh kening gadis itu, mengecek apakah keningnya baik-baik saja atau sebaliknya.
   Gadis itu meringis. Keningnya yang barus saja tercium pintu terasa begitu sakit. Alvin jadi kelimpungan sendiri melihat gadis itu meringis kesakitan.
   “Aduh, lo gak apa-apa kan? Aduh… yang mana yang sakit?” tanya Alvin panik.
   Gadis itu menggeleng. “Gak terlalu sakit sih. Ini juga udah mendingan.”
   “Aduh gak bisa. Sini gue obatin, nanti takutnya benjol lagi.” Alvin membantu gadis itu berjalan menuju kedalam ruang UKS. “Bentar ya, gue nyari air es dulu. Lo jangan kemana-mana!” kata Alvin, lalu dia segera
berlari meninggalkan gadis itu yang masih terbengong-bengong di tempatnya.

Masa Lalu yang Terulang Kembali part 3

Gadis itu menyebrang jalan tanpa menengok ke kiri dan kanan. Tubuhnya seketika kaku melihat apa yang ada di kanannya semakin mendekat kearahnya. Dia seakan tak bisa bergerak. Otot-otot kakinya seakan tak berfungsi lagi sehingga kedua kakinya tak bisa digerakkan. Dia hanya bisa terpaku melihat pemandangan itu. Sehingga membuatnya…..
   “AAAAAAAAA…………..”
   Rio terbangun dari mimpinya. Napasnya terengah-engah. Mimpi buruk lagi. Akhir-akhir ini mimpi yang sama selalu menghantui tidurnya. Mimpi yang dulu pernah menjadi kenyataan. Kenyataan yang menyiksa batinnya. Kenyataan yang membuatnya kehilangan sesuatu yang berharga di hidupnya. Bintang hatinya. Bintang yang selalu bersinar di hatinya. Tapi sekarang, sinar bintang itu telah redup.
   Rio berdiri. Berjalan kearah meja belajarnya. Mengambil kotak yang slama ini ia simpan di laci meja belajarnya. Rio membuka kotak itu, mengambil sesuatu yang ada di dalamnya. Lalu berguman, “Maafkan aku….”

Masa Lalu yang Terulang Kembali part 2

   “Vin, temenin gue buat spanduk dong!” bujuk Agni.
   Alvin yang tengah menyantap nasgor-nya menoleh kearah Agni. “Sama patner lo dong Ag.”
   Agni menggembungkan pipinya, “aelah Vin. Temenin gue napa? Ayo dong! Alvin ganteng deh.”
   Alvin menggelengkan kepalanya—pertanda dia tidak mau. “Emangnya ada apa sih sama Rio?” tanya Alvin heran.
   Agni menghela napas, “biasa!”
   Alvin hanya membulatkan mulutnya. Dia sudah hafal betul dengan sifat Rio yang cenderung tidak mau peduli dengan sekitarnya. “Tapi gue gak bisa Ag. Lo tau sendirikan tugas gue lebih berat daripada elo.”
   Seketika itu juga tubuh Agni melemas. Dia sudah tidak tau lagi harus meminta bantuan dengan siapa lagi.
***
   Iel berjalan di koridor sekolah. Sambil bersiul-siul pelan. Tangannya menenteng tas yang berisi laptopnya dan dokumen-dokumen OSIS. Setiap ada yang menyapanya, dia selalu membalas dengan senyum manisnya. Dan itu membuat orang yang menyapanya tak bosan-bosan menyapanya bila bertemu.
   BUGHH
   Tas yang ditenteng Iel jatuh saat dirinya ditabrak seseorang. Orang yang menabraknya jatuh terduduk di lantai. Iel melongo. Tapi itu tidak bertahan lama. Iel pun buru-buru menolong seseorang yang menabraknya dan mengambil tas-nya yang juga ikut terjatuh.
   “Aduh, sorry gue gak sengaja,” kata seseorang yang ditabrak Iel sembari membersihkan debu yang menempel di roknya.
   Iel mengangguk dan tersenyum. “Lain kali hati-hati ya,” katanya ramah.
   Orang yang menabrak Iel terpaku cukup lama. Dia tak menyangka orang yang ditabraknya itu Iel.
   Iel bingung diperhatikan seperti itu. Lalu salah satu tangannya dikibas-kibaskan di depan wajah orang yang tadi menabraknya.
   Orang itu tersadar dari lamunannya. Dia tersenyum malu mendapati Iel yang melihatnya kebingungan. “Eh maaf ya Yel. Maaf banget. Gue bener-bener gak sengaja. Maaf ya,” katanya beruntunan. Iel tersenyum kecil melihat tingkah laku orang yang ada dihadapannya ini. Seketika itu juga kedua pipi orang itu memerah, dan dia juga salah tingkah.
   “Oke. Lain kali hati-hati ya mungil.” Iel tertawa renyah sembari mengacak-ngacak rambut orang yang ada dihapannya itu. Lalu dengan sopan ia pamit, dan meninggalkan orang yang menabraknya tadi.
***
   “Heh Ag napa lo senyum-senyum kayak orang gila gitu?”
   “Enak aja lo ngatain gue gila! Gue waras kali.” Agni cemberut. Dia kesal dikatain gila oleh sahabatnya itu.
   “Lagian lo senyum-senyum sendiri kayak orang gila gitu sih. Emang ada apa? Iel lagi?” tanya sahabat Agni seakan sudah tau sebab yang selalu membuat sahabatnya jadi seperti orang gila. Senyum-senyum sendiri!
   “Pinter! 100 buat Apiinn.”
   “Kenapa gak seribu aja? Bisa buat beli gorengan tuh!”
   “Enak aja! Gue ntar yang bangkrut.” Agni menjulurkan lidahnya kearah sahabatnya itu.
   Alvin—sahabat Agni—mencibir, “halah lo itu emang pelit kali Ag. Gak usah bawa nama bangkrut segala deh!” sunggut Alvin.
   Agni hanya nyengir menanggapi persepsi sahabatnya itu.
***
Hidupku tanpa cintamu. Bagai malam tanpa bintang.
(Tata Mahadewi – Risalah Cinta)

   Lelaki itu menatap langit-langit kamarnya. Saat ini posisi laki-laki itu memang berbaring di ranjangnya. Kedua tangannya ia buat sebagai bantalan. Pandangannya lurus kearah langit-langit kamarnya yang berwarna putih bersih. Memang pandangannya berarah kesana. Tapi pikirannya sudah berkeliaran kemana-mana.
   Kejadian bertahun-tahun yang lalu sangat membuatnya terpuruk. Kejadian yang telah merenggut kekasihnya. Kekasihnya yang selalu ia cintai namun telah menorehkan luka dihatinya. Dan kekasih yang telah membuatnya membenci saudaranya yang dulu sangat ia sayangi.
   Lelaki itu menghela napas. Dia sebenarnya bingung dengan dirinya. Dia seakan bukan menjadi dirinya sendiri. Seakan berkamuflase dari sifat aslinya dulu. Dia juga tidak tau kenapa dia menjadi seperti itu. Semuanya terjadi seiring dengan berjalannya waktu. Dan itu semua jauh dari apa yang sudah ia perkirakan.
   Tidak terasa cairan bening yang selama ini ditahannya berbondong-bondong menyeruak ingin keluar. Untuk kali ini, lelaki itu membiarkan cairan bening itu keluar tanpa harus dicegah. Dia cengeng? Mungkin. Dia sudah tidak peduli dengan kata cengeng lagi. Yang diinginkannya hanya satu. Mengeluarkan kesedihannya seiring dengan keluarnya cairan bening itu. Tapi apa itu bisa? Sebenarnya ia tidak terlalu yakin.
***
   Agni sibuk menghiasi stand kelasnya. Untung saja setelah dibujuk dengan tampang melas—dia terpaksa membuang rasa gengsinya kepada Rio—akhirnya Rio mau ikut membuat spanduk bersamanya.
   Dengan semangat, Agni berseliweran kesana-sini demi menghiasi stand kelasnya. Dia tak mau melewatkan moment-moment seperti ini. Toh tahun depan dia tak akan bisa berpartisipasi lagi diacara Dies Natalis sekolahnya itu. Kelas XII memang sudah tidak dianjurkan lagi untuk ikut berpartisipasi memeriahkan Dies Natalis. Mungkin hanya sebagai pengunjung dan penonton saja.
   “Ag tugas lo sekarang buat kartu tanda pengenal. Modelnya yang unik ya!”
   “Sip!” Agni mengacungkan ibu jarinya. Lalu segera mengambil kertas. Membuat desain terlebih dahulu. Lalu membuatnya dengan kertas yang sudah disediakan.
***
   Hari yang sudah ditunggu-tunggu telah tiba. Dari pagi sudah banyak siswa-siswi GHS yang sudah berlalu lalang disegala penjuru sekolah. Dimana-mana tampak orang berseliweran kesana-kemari sambil membawa box yang berisi barang dagangan mereka.
   Begitu pula anggota OSIS. Mungkin mereka yang paling sibuk hari ini. Sebelum Dies Natalis dimulai, semua anggota OSIS rapat terlebih dahulu. Agar acara bisa berlangsung dengan lancar, tanpa ada hambatan sama sekali.
   Agni berlarian kecil menuju stand kelasnya. Dia sudah tak sabar menjadi penjaga kasir. Memang dia mencalonkan diri untuk menjadi penjaga kasir.
   “Pagi semua,” sapa Agni riang kepada semua teman-temannya yang sibuk menata barang dagangan mereka.
   “Pagi,” jawab mereka semua.
   Agni menghampiri Alvin yang sibuk dengan laptopnya. Dia sedang mendata barang apa saja yang stand mereka jual. “Udah selesai Vin?” tanyanya.
   Alvin menggelengkan kepalanya. “Belum. Gue kan gak jago-jago amat sama matematika. Ya lama lah ngitungnya.”
   Agni membulatkan mulutnya. “Gue bantuin mau? Nilai matematika gue lumayan lah daripada lo!”
   “Neng. Nilai lo emang bagus. Tapi gak usah nyindir gue napa?” ujar Alvin sinis.
   Agni mencibir. “Jah gitu aja ngambek pin. Eh si Monster Es kemana? Kok batang hidungnya gak keliatan?” tanya Agni lantas mengedarkan  pandangannya mencari sosok yang selalu membuatnya naik darah.
   Alvin mengernyit, heran dengan sahabatnya itu. Kalau ketemu bawaannya pengen marah-marah, eh giliran gak ketemu malah nyariin. Aneh! “Tumben nyariin? Jangan-jangan BJC nih!” goda Alvin.
   “BJC apaan Pin?” tanya Agni.
   “Jah BJC gak tau! Benci Jadi Cinta Agnoy jeyek!”
   Agni melengos. “WHAT? Benci Jadi Cinta? Cuih amit-amit jabang bayi. Ya Tuhan jangan kau kabulkan perkataan si Kodok buruk rupa ini ya Tuhan!” ucap Agni, kedua tangannya ia dekatkan di depan dada seperti orang berdoa.
   “Lah. Gue cakep gini lo katain buruk rupa. Katarak mata lo Ag!” sunggut Alvin tidak terima dengan persepsi sahabatnya ini.
   “Ck. Udah lah tiba-tiba aja gue bad mood debat sama lo. Mana gak penting lagi!” kata
Agni. Alvin pun mengangkat bahunya, lalu melanjutkan kembali aktifitasnya. Dan tidak membahas perdebatan itu lebih lanjut.
***
   Lelaki itu menikmati semilir angin pagi yang sejuk. Dari sini, dia bisa melihat betapa sibuknya orang-orang yang berlalu-lalang. Dia sebenarnya tidak peduli dengan acara tidak penting seperti ini. Jadinya dia menghabiskan waktunya di tempat ini.
   Dia membaringkan tubuhnya di lantai. Menatap langit yang berwarna biru. Awan putih berarak mememperindah pemandangan di atas sana. Dia mencoba meyibak bentangan langit itu, mencoba mencari bintang yang selama ini dia rindukan. Tapi, kenapa hasilnya sama saja. Tidak ada bintang yang slama ini dia rindukan disana? Dimana sebenarnya bintangnya itu berada?
   Laki-laki itu memejamkan matanya. Menghayati nyanyian angin yang terdengar di gendang telinganya. Nyanyian angin yang selalu memberinya pentujuk kemana dia harus melangkah. Kali ini dia tertegun. Dia mendengar angin bernyanyi bahwa tak lama lagi dia akan menemukan bintang barunya. Tapi siapa? Angin masih belum mau memberitahunya soal itu.
***
   “Eh Rio dimana sih! Ini kartu namanya belum dipakek.”
   “Tau tuh. Udah deh Rio aja. Paling-paling kalau gak mengasingkan diri ya dirumahnya lagi tidur!”
   Agni sesekali mengedarkan pandangannya. Dia sedang mencari seseorang. Dia berharap orang yang dicarinya lewat di depan standnya. Tapi apakah mungkin? Mungkin orang yang dicarinya sibuk dengan tugasnya yang ia yakin tak sedikit sebagai murid terpenting di sekolah ini.
    Agni selonjoran di karpet yang digelar disamping standnya. Dari tadi dia mencari seseorang yang sangat ingin dilihatnya. Tapi dia sama sekali tak melihat batang hidung orang itu. Padahal dia sangat ingin melihat wajah ramah yang menjadi cirri khasnya.
   “Hay Ag, ngelamun aja.” Alvin selonjoran disamping Agni.
   Agni menoleh kearah Alvin. Wajahnya terlihat sedih. “Gak apa-apa.”
   Alvin mengernyit. Tumben-tumbennya Agni terlihat sedih seperti itu. Padahal seharian ini ia yakin kalau Agni tidak bertemu Rio sama sekali. Tapi apa gerangan yang membuat sahabatnya bersedih seperti itu? Dia jadi bingung. “Tapi kenapa lo sedih gitu?” tanyanya.
   Agni menggelengkan kepalanya lantas segera beranjak dari duduk selonjorannya. Alvin pun tak ambil pusing dengan masalah sahabatnya itu.
***

Bintang malam katakan padanya
Aku ingin melukis sinarmu dihatinya
Embun pagi katakana padanya
Biar kudekap erat waktu dingin membelenggunya

Bintang malam sampaikan padanya
Aku ingin melukis sinarmu dihatinya
Embun pagi katakana padanya
Biar kudekap erat waktu dingin membelenggunya

Taukah engkau wahai langit
Ku ingin bertemu membelai wajahnya
Ku pasang hiasan angkasa yang terindah
Hanya untuk dirinya

Lagu rindu ini ku ciptakan
Hanya untuk bidadari ku tercinta
Walau hanya ada sederhana
Izin kan ku ungkap segenap rasa dan kerinduan

Taukah engkau (taukah engkau) wahai langita (wahai langit)
Ku ingin bertemu membelai wajahnya (ku ingin bertemu membelai wajahnya)
Dan kupasang hiasan angkasa yang terindah
Hanya untuk dirinya

Lagu rindu ini ku ciptakan
Hanya untuk bidadari ku tercinta
Walau hanya ada sederhana
Izin kan ku ungkap segenap rasa dan kerinduan
(Kerispatih – Lagu Rindu)


   Plok… plok… plok…
   Tepuk tangan riuh membahana di segala penjuru lapangan. Suara merdu yang menyanyikan lagu itu dengan penuh penghayatan. Sehingga orang-orang yang mendengarnya ikut hanyut dalam nyanyian itu. Banyak pujian terlontar seusai lagu itu selesai dinyanyikan. Memang suara orang yang sangat terkenal di sekolah ini sangatlah indah. Banyak yang tertegun saat mendengarnya.
   Gadis mungil itu meneteskan air mata. Dia terharu dengan lagu yang dinyanyikan orang yang tadi dicari keberadaannya. Jari telunjuknya menghapus butiran-butiran air yang mengalir sedikit-demi-sedikit di pipinya. Lalu dia bertepuk tangan lagi. Dia jadi semakin kagum dengan orang itu.
***
   “Io…” teriak gadis manis itu kesal.
   “Kenapa sih?” tanya lelaki yang dipanggil Io tadi.
   “Balikin gak!” perintahnya. Gadis itu mengejar laki-laki tadi. Laki-laki tadi menambah kecapatan berlarinya lagi. Dia tak mau tertangkap oleh gadis itu.
   “Io rese’ deh! Please balikin dong ah. Io…!” teriaknya semakin kesal.
   “Gak mau! Week…,” lelaki itu menjulurkan lidahnya. Dia masih tetap berlari.
   Gadis itu berhenti. Napasnya terengah-engah, dadanya naik turun. Dia mengatur napasnya terlebih dahulu lantas berkacak pinggang. Lelaki itu menjulurkan lidahnya, berlari menyebrang jalan menuju rumahnya. Gadis itu mengikuti lelaki tadi dari belakang sambil berlari. Dia tak mau kotak yang direbut oleh lelaki tadi dilihat isinya. Dia tak mau rahasiannya slama ini terbongkar.
   Gadis itu menyebrang jalan tanpa menengok ke kiri dan kanan. Tubuhnya seketika kaku melihat apa yang ada di kanannya semakin mendekat kearahnya. Dia seakan tak bisa bergerak. Otot-otot kakinya seakan tak berfungsi lagi sehingga kedua kakinya tak bisa digerakkan. Dia hanya bisa terpaku melihat pemandangan itu. Sehingga membuat………


Bersambung….

comment on my FB: Entin Endah Cahyati

Masa Lalu yang Terulang Kembali part 1

“Eh mereka kembar kan?”
“Katanya sih iya, orang mirip gitu.”
 “Ah, masa sih? Kok kayaknya gak deket ya.”
“Mana gue tau. Emang gue emaknya!”
“Kali aja! Eh udah jangan ngomongin mereka lagi. Iel lagi jalan kesini tuh, ntar dia denger!”

  Mario Stevano Haling dan Mariel Stevent Haling, kembar yang sangat bertolak belakang. Banyak yang kaget mengetahui bahwa mereka kembar. Memang sih dari segi penampilan mereka bisa dibilang kembar. Tapi keduanya tidak pernah saling tegur bila bertemu. Bagaikan air dan minyak yang tak bisa saling menyatu. Entahlah, ada apa diantara mereka hingga membuat keduanya seperti itu.
  Mariel atau yang biasa dipanggil Iel adalah ketua OSIS di Global High School (GHS). Iel memang mempunyai bakat sebagai pemimpin. Dia yang bijak dan bertanggung jawab sangat di segani untuk menjadi ketua OSIS di GHS. Dan Iel juga terkenal dengan sifatnya yang baik hati dan ceria, dia sangat pandai bergaul.
   Sedangkan, Mario atau Rio dia adalah lelaki yang dingin dan cenderung suka menyendiri. Sifat yang sangat bertolak belakang dengan kembarannya, Iel. Tepat sejak kejadian beberapa tahun lalu yang membuatnya jadi seperti ini. teman-temannya dulu sangat heran kembaran yang dulunya sangat akrab sekarang malah saling berjauhan. Mungkin ada masalah yang membelenggu di antara mereka berdua. Tapi apa masalahnya? Hanya mereka berdua yang tau.
***
   “Hey Rio!”
   Rio menoleh kearah suara yang memanggilnya. Gadis mungil tersenyum dan melambaikan tangan kearahnya. Kemudian berlari menghampiri Rio.
  “Nanti kerja kelompoknya di rumah lo bisa gak?” tanyanya.
   Rio mengerutkan keningnya. Membuat kedua alisnya saling terpaut. “Kenapa di rumah gue?” tanyanya datar.
   Gadis itu menghela nafas. “Dirumah gue gak bisa. Dirumah anak-anak lainnya juga gak bisa!”
   “Kenapa gak ditempat lain aja?”
   Gila nih anak. Pelit amat sih! “Yaampun. Kalau di tempat lain dimana hayo? Dirumah lo aja deh Yo! Anak-anak juga setuju,” kata Gadis itu. sebenarnya dia ingin sekali menghina Rio kalau dia itu PELIT. Tapi kalau dia bilang begitu, nanti Rio malah gak mau rumahnya di buat kerja kelompok.
   Rio berpikir sejenak. Lalu menganggukkan kepalanya pasrah. Terlihat sekali kalau dia sangat tidak ikhlas. “Jam berapa?”
   Gadis itu tersenyum senang, “jam 2 kita-kita nyampek dirumah lo. Thank’s ya Yo!”
   Tanpa menjawab ucapan terimakasih gadis itu Rio langsung melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Gadis itu menggerutu melihat sikap Rio yang seperti itu. sangat menyebalkan!
***
   Rio mempersilahkan teman-temannya masuk kedalam rumahnya. Hari ini seperti yang sudah direncanakan. Mereka semua mengerjakan tugas kelompok di rumah Rio. meski Rio terlihat tidak ikhlas tapi apa boleh buat, rumah yang lainnya tidak bisa dibuat untuk mengerjakan tugas kelompok.
   Rio menggiring teman-temannya ke belakang rumah, tepatnya ke Gazebo rumahnya. “Kalian mau minum apa?” tanya Rio.
   “Terserah deh Yo. Yang penting dingin!” kata Agni, yang lainnya mengangguk menyetujui perkataan Agni tadi.
   Tanpa berkata apa-apa lagi. Rio langsung berjalan kedalam rumah. Tampangnya yang cuek dan dingin membuat teman-temannya jengkel. Sebenarnya mereka memilih dirumah Rio, karena mereka ingin melihat lebih jelas lagi rumah Rio. dan tentunya hubungan Rio-Iel yang katanya tidak akur.
   10 menit kemudian. Rio datang membawa nampan berisi 5 gelas jus jeruk dingin. Lalu menaruhnya ditengah-tengah. Setelah Rio datang, kemudian pembantunya datang membawa cemilan. Dan menaruhnya disamping nampan. Setelah mengucapkan ‘Silahkan’, pembantu yang kira-kira sudah berkepala 4 itu pamit kebelakang.
   “Okey, kita mulai darimana nih?” tanya Agni. Dia selaku ketua kelompok meminta kepastian dari anggota kelompoknya.
   “Nyari bahan dulu aja Ag,” usul gadis bermata sipit dan berkulit putih yang duduk disamping Agni.
   Agni berpikir sejenak. “Ok nyari bahan dulu.” Agni mengambil laptop dari ranselnya. Lalu membukannya, dan menghubungkan dengan modemnya.
   “Gini aja ya. Yang cowok nyari bahan aja deh. Ntar ceweknya yang bikin klipingnya. Tapi cowoknya juga harus bantu. Nyari bahan mah gampang!” jelas Agni. lalu menyerahkan laptopnya ke Rio dan Alvin.
   Alvin yang menerimanya, Rio cuek saja dengan perkataan Agni. anggota kelompok memang ada 5 orang. Yang 2 laki-laki dan yang 3 perempuan. Dan yang paling sialnya, kelompok itu mendapat anggota seperti Rio. Diakan seperti es, dingin, dan tidak peduli dengan sekitarnya. Mana bisa nyambung kalau diajak diskusi. Memang sih Rio selalu mendapat juara kelas, tapi kalau sikapnya kayak gitu siapa coba yang mau punya anggota kelompok seperti dia?
   Agni menghela napas berat. Dia sudah pasrah dengan nasib kelompoknya itu. lalu mereka pun berkerja sesuai tugasnya masing-masing. Kecuali Rio yang asik dengan PSP-nya. Terpaksa Alvin mencari bahan dibantu oleh Zahra.
***
Disaat engkau disana. Kadang langit terasa gelapnya.
(Kahitna – untukmu)

   Lelaki itu tampak termenung di balkon kamarnya. Pandangannya seolah tak lepas dari langit yang menghitam. Buka menghitam karena hari sudah mulai malam, tapi karena mendung yang menyelimuti cakrawala saat itu juga. Hatinya pun sepertinya sama dengan keadaan langit itu.
   Dalam benaknya berkelebat siluet-siluet masa lalunya. Masa lalu yang telah membuatnya kehilangan sesuatu. Sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya. Hingga membuatnya terpuruk dan kehilangan semuanya. Tapi dia hanya lelaki lemah yang bodoh. Yang tak tau harus berbuat apalagi kecuali diam meski dirinya terombang-ambing dalam ombak yang tak pernah membuatnya berlabuh didaratan.
   Kalau boleh jujur. Sebenarnya lelaki itu tidak menginginkan keadaan yang seperti ini. dulu dia memang diluar kendali. Dia sadar dia apa yang dilakukannya dulu salah. Mungkin sangat salah sekali. Dia sudah merebut sesuatu yang berharga dari orang yang sangat dekat dengannya. Hingga membuatnya….
   Sudahlah toh semua sudah berlalu. Lelaki itu menjulurkan tangannya kedepan. Mencoba mewadahi titik-titik air yang keluar dari langit. Lalu tersenyum kecil. Mungkin langit juga merasakan apa yang dia rasa. Hingga langitpun mau berbagi kesedihan dengan lelaki itu. lalu dia menarik tangannya kemudian masuk kedalam kamar.
***
   Gadis mungil itu tampaknya sangat senang. Kenapa tidak, bila tadi dia bertemu dan berbicara dengan orang yang dikaguminya slama ini. lelaki hitam manis yang mempunyai senyuman yang indah. Lelaki yang mudah bergaul dan baik hati sangat berbeda dengan kemabarannya yang dingin. Yap, lelaki yang dikagumi gadis mungil itu adalah Iel. Lelaki yang ramah pada siapa saja. Dan bagaikan langit dan bumi bila disandingakan dengan kembarannya itu.
   “Agni!”
   Reflex Agni menggeplak orang yang mengangagetinya itu. yang di geplak malah meringis kesakitan sambil memegangi kepala-nya yang malang.
   “Kenapa sih lo? Iseng banget,” ucap Agni.
   Orang itu tertawa lalu mengacak rambut Agni. Agni cemberut melihat rambutnya diacak-acak dengan orang ini. menyebalkan.
   “Sorry Ag,” katanya lalu nyengir. “Oh ya, tumben lo seneng.”
   “Biasalah.”
   “Ketemu sama Iel lagi?”
   Agni mengangguk semangat. “Dan yang paling nyenengin lagi. Tadi dia ngajak gue ngomong. Huwaaa.. senengnya…”
   Orang itu menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan kelakuan sahabatnya ini. “Lah, gitu aja seneng!”
   “Auah gaasik lo! Gue mau ke kelas ah, bye.” Agni meninggalkan orang itu sendiri. Dan orang itu masih tak bergeming. Menatap punggung Agni yang mulai menjauh.
***
   Ah sial! Batin Agni. dalam hati, Agni merutuki nasibnya yang sial. Bagaimana tidak sial bila dia harus duduk dengan Es berjalan ini? Agni terpaksa duduk semeja dengan Es ini kalau tidak ada pengacakan. Pengacakan paling membosankan di dunia. Dia sudah pasrah menerima nasibnya yang tidak mujur itu.
   Tidak ikhlas Agni duduk dibangku barunya. Dilihatnya Rio—es berjalan—duduk sambil bersenden di tembok. memang bangku yang dihuni Rio saat ini berada di dekat tembok. dan Agni duduk di sebelah Rio.
   Rio melirik Agni yang air mukannya sudah berubah menjadi ‘tidak ikhlas’. Rio tersenyum tipis. Dia tau kalau Agni sebenarnya tidak ingin duduk sebangku dengannya. Tapi dia tak terlalu memperdulikannya. Biarkan saja. Selama itu tidak membuatnya kesal, Rio tak akan mempermasalahkan itu semua.
***
   “Huwa.. mimpi apa sih gue semalem bisa semeja sama monster es itu!” kata Agni uring-uringan. Rambutnya ia acak-acak sendiri sangking stress-nya mendapat tempat duduk yang tidak sesuai keinginannya.
   “Sabar Ag, sabar! Orang sabar disayang Iel lho.”
   “Heh? Disayang Iel kata lo? Ngaco!”
   “Serah lu deh Ag, kalau udah nasib terima aja kali!”
   “Nasib ya nasib. Gausah kayak gini kali Vin!”
   Alvin menggelengkan kepalanya. Dia benar-benar tak habis pikir dengan sahabatnya itu. apabila ada sesuatu yang berhubungan dengan Rio pasti dia uring-uringan. Tapi kalau udah berhubungan dengan Iel pasti Agni semangat banget.
   “Tau deh. Sebodo amat deh gue duduk sama tuh monster. Ladenin aja deh!” kata Agni pasrah. Alvin mengangkat bahu. Tak mau mencampuri masalah sahabatnya. Nanti dia kena imbas-nya kalau Agni marah.
***
   Agni dongkol! Kenapa coba dia dapat tugas bareng sama Rio? mending sama Daud aja deh daripada sama monster itu. Lusa adalah Dies Natalis GHS yang ke 45, jadi setiap kelas diharuskan untuk membuka stand bazar yang menjual bermacam-macam barang dan makanan. Dan kelas XI IPA 2—kelas Agni dan Rio—memutuskan untuk membuat stand yang menjual aksesoris perempuan maupun laki-laki. Rio dan Agni kebagian tugas untuk membuat spanduk yang bertuliskan nama stand mereka.
   Agni sudah membujuk teman-teman perempuannya untuk bertukar tugas. Tapi tak ada seorang pun yang mau. Jadi mau tak mau Agni harus menerima kenyataan lagi kalau dia harus bernasip sial lagi. Sangat menyebalkan!
   “Yo gimana nih?”
   Rio menoleh kearah Agni sekilas. Lalu melanjutkan kembali memencet-mencet I-Pod nya. Disalah satu telinganya menjuntai earphone. “Gak tau!” jawabnya singkat, padat, datar, dan jelas.
   Agni menghelas nafas berat. Salah satu tangannya mengelus-elus dadanya, seakan menetralisir rasa kesal yang bersarang di dadanya. “Lha terus gimana sama tugas kita?” tanya Agni mencoba sabar.
   Rio mengangkat bahu. Agni jadi makin dongkol dibuatnya. Lalu beranjak dari duduknya. Meninggalkan Rio yang masih tak berkutik dari kegiatannya itu.
***
   Agni membanting tasnya sembarang. Tas yang semula mendarat selamat di atas ranjang pun akhirnya jatuh juga. Dengan sepatu yang masih melekat di kakinya, Agni langsung membanting tubuhnya di ranjang. Dan syukurlah Agni tidak bernasip malang seperti tasnya barusan.
   Dalam hati Agni mengumpat. Kenapa sih ada lelaki seperti Rio? Bikin naik darah aja! Dibaikin? Nyari rebut. Gak dibaikin? Juga nyari rebut. Mau apa sih sebenernya tuh anak? Gak ada abis-abisnya bikin gue naik darah mulu!
***
Semua salahku tak jaga dirimu dalam hatiku sungguh ku tak sanggup. Semua terjadi seperti mimpi. Mimpi burukku kehilanganmu.
(Geisha – Remuk Jantungku)

   Pigura yang tampak kusam karena sudah bertahun-tahun tak terjamah membuat secercah kenangan masa lalu berkelebat di pikirannya. Pigura yang menghiasi kertas persegi panjang yang tidak terlalu besar dan terdapat gambar seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya. Pigura yang menampilkan seseorang yang ada dimasa lalunya yang sudah berkali-kali ia coba untuk melupakkannya namun tak bisa. Pigura yang biasa saja tapi menyimpan berjuta kenangan yang menyakitkan.
   Lelaki itu terduduk di lantai tepat di samping ranjangnya. Salah satu tangannya memegang Pigura itu dan salah satu tangannya lagi mengelus-elus foto yang terbiangkai dalam Pigura itu. foto seorang perempuan yang sedang tersenyum lepas, tidak kelihatan seperti di foto. Terkesan seperti alami. Kulitnya yang sawo matang dan wajahnya yang manis sangatlah menarik perhatian. Rambutnya yang sebahu sangatlah cocok menjadi mahkotanya. Senyumannya yang tulus dan membuat orang yang melihatnya akan ikut tersenyum. Tapi, sekarang senyuman itu telah memudar. Lenyap!
   Dan semua itu adalah perbuatannya. Lelaki itu tak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian beberapa tahun silam. Dan ia pun seperti kehilangan salah satu bagian dari hidupnya. Sehingga membuat hidupnya hampa. Selama ini dia juga tak bisa bernafas dengan wajar. Paru-parunya seakan tak bisa lagi mengedarkan oksigen dan karbondioksida dengan lancar. dan dia merasa dia hanya sendiri. Tak ada seorang pun yang peduli dengannya. Dia merindukan sosok itu. perempuan yang selalu ada di hatinya. Walaupun terpisah dalam dunia yang berbeda. Tapi, itu semua takkan memudarkan perasaan lelaki itu kepada perempuan yang ada dalam foto di pigura itu.


Bersambung….

comment on my FB: Entin Endah Cahyati c:

When You Come To My Corner (FanFict IdolaCilik)

Aku ingin jatuh cinta. Tapi akankah aku bisa jatuh cinta dalam waktu cepat? Aku tak yakin!
*
“Huh… capeknya!”
Aku melap keringat yang ada di wajahku dengan handuk kecil. Kemudian aku selonjoran dipinggir lapangan tenis.
Hari ini aku ada ekskul tenis. Huh, capek sekali. Apalagi matahari siang nampaknya tidak lelah memancarkan sinarnya yang menyengat. Dan lagi-lagi aku harus menerima kenyataan bahwa kulitku akan menghitam dan kering.
“Hey Ag, nih minum.” Zevana, sahabatku, menyodorkan satu botol air mineral ke arahku. Aku menerimanya dengan senang hati.
“Thanks!” ucapku. Zevana mengangguk. Kemudian dia duduk selonjoran disampingku.
Zevana meneguk minumannya, lalu menoleh kearahku. “Ag, gue jatuh cinta nih!”
Aku balas menatap Zevana, “Sama siapa?” tanyaku penasaran.
“Mau tau?” tanyanya.
Aku mengangguk semangat.
“Semangat amat buk?” goda Zevana sambil tertawa renyah.
Huh, kebiasaan nih Zevana, bikin penasaran aja! “Udah deh Ze, ribet amat sih!” sunggutku.
Zevana tertawa puas. “Gimana ya? Kasih tau gak ya?” Zevana pura-pura berpikir. Membuatku dongkol.
“Ck, kalau gak mau ngasih tau yaudah!” kataku kesal. Daripada ribet kayak gini, mendingan gak usah kasih tau aja deh! Aku melengos.
Zevana tertawa –lagi- puas. Menyebalkan!
“Nanti lo pasti tau kok Ag, sekelas lho sama kita!” kata Zevana sedikit memberiku clue siapa lelaki yang ditaksirnya.
Sekelas? Masa sih? Terus siapa lelaki yang bisa bikin Zevana bertekuk lutut? Sudahlah aku tak tau!
“Penasaran Ag?” tanya Zevana. Sontak aku mengangguk!
Zevana tertawa kecil. “Sabar ya Ag, ntar deh kalau waktunya udah tepat gue kasih tau!”
Aku mencibir kesal.
*
Pagi ini aku berangkat sekolah sendirian. Setiap hari aku selalu diantar oleh kakakku. Tapi karena kakakku kuliah siang dan sekarang masih molor di pulau kapuk. Terpaksa aku naik angkot.
Sebenarnya aku malas naik angkot. Tapi mau bagaimana lagi? Ayahku sudah berangkat kerja daritadi, ada meeting pagi. Dan tadi aku bangun kesiangan. Emang aku bego banget, kenapa coba gak hidupin alaram? Jadi gini kan!
Setelah naik angkot dari beberapa jurusan. Akhirnya sama juga di sekolahku. Aku menyeret kakiku memasuki gerbang depan sekolah dan menuju ke kelasku.
“Agnii….,” teriak seseorang. Aku menoleh kearah sumber suara itu.
“Kenapa?” tanyaku.
“Bareng yuk ke kelas,” ajaknya. Aku mengangguk. Kemudian aku dan Shilla –seseorang yang memanggilku- berjalan beriringan menuju kelas.
Sesampainnya di depan kelas. Aku dan Shilla berhenti diambang pintu kelas. Melihat aneh semua penghuni kelas yang berlarian kesana-sini.
“Ada apa sih Shill?” tanyaku.
Shilla mengendikan bahu. “Yaudah masuk yuk!” ajaknya.
Aku dan Shilla akhirnya memasuki kelas. meski aku dan Shilla masih bingung dengan apa yang terjadi saat ini.
“Eh ada apa sih?” tanya Shilla kepada Riko yang tengah meneteng tasnya menuju bangku paling belakang. Padahal itu bukan bangku Riko.
“Pengacakan tempat duduk. Cewek sama cowok!”
“Hah? Sekarang? Siapa yang ngacak?” tanya Shilla beruntunan.
Riko mengangguk “Yang ngacak Bu Uchie lah. Tadi si Rio bawa susunan tempat duduknya. Liat aja di mading kelas!” jelas Riko. Lalu dia kembali meneruskan langkahnya yang terhenti karena pertanyaan Shilla.
Aku dan Shilla melihat mading kelas yang masih dikerumuni massa.
Aku mencari namaku. Dann.. ketemu! Eh aku duduk sama Alvin? yaahh… gak asik!
“Shill, lo duduk sama siapa?” tanyaku ingin tau
“Sama Rio. huwaa.. senengnyaa.” Shilla melonjak kegirangan. Aku melengos.
“Lo sama siapa Ag?” tanya Shilla balik.
“Alvin. kenapa gue sama dia sih?” sunggutku.
Shilla menepuk pundakku pelan. “Yang sabar ya Ag. Duduk sama patung. Hahaha…” ejek Shilla.
Sialan! Mimpi apa sih aku tadi malem? Sial banget hari ini!
Lalu aku dan Shilla menuju bangku baru yang akan kami duduki. Dan hari-hari menyedihkan di kelas akan segera dimulai!
*
“Eh Shill lo enak banget bisa sebangku sama Rio!” kata Ify sedih. Ify sudah lama naksir Rio dan Shilla juga begitu. Rio yang manis dan baik bisa meluluhkan hati para wanita. Sebenernya aku juga ada rasa dengan Rio. Tapi rasa itu hanya mengagumi, bukan rasa cinta.
“Lo juga enak Ag bisa sama Alvin,” kata Zevana. Hah? Jangan-jangan….
“Enak apanya! Duduk sama patung lo bilang enak Ze. Lo pengen sama Alvin?”
Zevana mengangguk. “Dia keren tau gak Ag! Apalagi waktu main bola, auranya keluar banget!” jelas Zevana menggebu-gebu. Aku makin yakin kalau Zevana….
“Iya sih Ze, kalau alvin latian apalagi tanding bola auranya keluar banget! Kereenn deh.” Shilla ikut-ikutan membanggakan Alvin. bener sih kalau dia ganteng, tapi sumpah cueknya minta dikawinin sama emak-emak!
“Bener kata Zevana sama Shilla. Alvin kereenn…,” ify juga nih tergila-gila sama Alvin kenapa mereka bisa suka sama patung sih? Aku yakin kalau Alvin itu sebenernya punya susuk yang bikin dia ganteng! Nyatanya aja muka kayak tembok busuk. Eh? Hari gini masih ada susuk? Kayaknya kuno banget deh!
“Terserah apa kata lo bertiga deh!” sunggutku.
*
Aku berjalan di koridor sekolah. pikiranku melayang tentang apa yang dirasakan ketiga sahabatku belakangan ini. aku jadi ingin merasakan jatuh cinta. Tapi apakah bisa secepat yang aku inginkan?
Aku ingin sekali bisa bercerita kelebihan lelaki yang aku sukai kepada ketiga sahabatku. Tapi, aku belum juga merasa jatuh cinta kepada lelaki manapun.
Baiklah, aku akan memberi peritungan. Lelaki yang akan berbelok di tikungan itu menuju kearahku, aku akan menjadikan targetku. Oke, ide yang bagus! Baiklah mulai!
Aku menunggu lelaki yang akan berbelok ditikungan menuju kearahku. Aku berdoa dalam hati, semoga lelaki yang akan berbelok itu adalah lelaki yang baik-baik.
DEGG..
Seorang laki-laki yang memantul-mantulkan bola basketnya berbelok ditikungan itu dan berjalan kearahku. Aku terperangah, tidak mungkin!
“Lo kenapa?” tanya lelaki itu, dia memandang aneh kearahku.
“Eh, gak apa-apa kok!” aduh.. Agni sadar! Kenapa lelaki itu sih? Emang persediaan lelaki di bumi ini sudah habis sehingga dia yang berbelok di tikungan itu!
“Ohh..” katanya cuek. Lalu dia berjalan lurus sambil memantul-mantulakn bola basketnya.
Dasar patung! Tapi, tapi aku selalu konsisten dengan ucapanku. Aku tidak mungkin membatalkan peritunganku tadi. Jadi… aku terpaksa menjadikan dia sebagai targetku.
Oke catat baik-baik: Targetku sekarang adalah ALVIN JONATHAN SINDUNATA!! Menyedihkan sekali.
*
Malam yang indah. Aku duduk di balkon kamarku. Melihat bulan dan bintang saling beradu menampakkan sinarnya. Menjadikan malam yang kelam menjadi malam yang indah karena sinar keduanya. Aku suka melihat bulan dan bintang yang saling bersamaan. Kadang aku sedih bila keduanya tidak menampakkan dirinya dilangit. Dan aku juga sedih jika bulan sendirian tersenyum dilangit, sangat kesepian. Begitu juga sebaliknya.
Aku menghela nafas. Lalu beranjak dari balkon dan masuk ke kamar. Karena malam sudah mulai larut dan dinginnya malam yang sangat menyengat kulitku membuatku menggigil. Aku kedinginan.
Aku berbaring diranjang. Aku memikirkan kejadian tadi yang tidak pernah terpikir olehku. Aku harus menyukai Alvin? oh tidakk… ada apa dengan dunia! Apakah sebentar lagi akan kiamat?
“Alvin ya.. huh nasib nasib!”
Tapi…
Aku baru ingat sekarang. Tadi Zevana banyak membicarakan Alvin. jangan-jangan Zevana menyukai Alvin. dan orang yang dimaksud Zevana selesai ekskul tenis waktu itu Alvin lagi. Aduh, aku harus gimana? Alvin kan jadi targetku, kalau Zevana juga menyukai Alvin bagaimana ini?
Aduh aku bingung! Sudahlah aku mengantuk, aku mau tidur.
*
Hari ini tidak ada hambatan sama sekali. Matahari pagi menampakan sinarnya, seakan tak bosan memamerkan sinar indahnya kepada semua peradaban di bumi.
Aku berangakat sekolah diantarkan oleh kakakku, Cakka. Kakakku sedang baik kali ini. meski dia tidak ada jadwal kuliah. Dia mau mengantarkan adiknya yang manis ini. hahaha…
Sesampainnya di sekolah seperti biasa aku masuk melewati gerbang depan. Tapi yang tidak seperti biasanya. Aku melihat Alvin dan teman-temanya asik bermain basket di lapangan basket yang letaknya dekat parkiran motor. Aku mengamati Alvin. benar juga ya kalau Alvin itu keren. Auranya kelihatan sekali! Aku jadi suka, eh apa tadi suka? Oh tidaakk…
“Hey Agni!” sapa Zevana sambil tersenyum.
Aku balas tersenyum, “Pagi Ze..”
“Pagi juga..” sahutnya.
“Yaampun Alvin kereenn….,” teriak Zevana tidak terlalu keras.
Aku menatap Zevana. Wajahnya tampak berseri-seri melihat Alvin. “Ze, cowok yang lo sukai itu Alvin?” tanyaku pelan.
Zevana menatapku. Dahinya mengkerut membuat kedua alisnya saling bertaut. “Hah? Alvin?”
Aku mengangguk menegaskan.
Zevana tertawa. Aku jadi makin bingung.
“Udah deh Ag, kalau gue udah jadian gue kasih tau deh ke lo!”
“Tapi siapa orangnya Ze? Alvin?” tanyaku.
“Ada deh, ntar juga tau sendiri! Ayok ke kelas,” ajaknya. Sudahlah aku tak mau memikirkannya lagi!
Aku mengangguk.
*
Bel masuk jam pertama sudah berbunyi. Aku sudah duduk manis di bangkunku sedari tadi. Tapi penghuni disampingku ini belum juga duduk. Padahal tadi aku melihantnya dilapangan basket. Tapi dia belum juga memasuki kelas.
Panjang umur. Alvin yang dari tadi aku pikirkan datang juga. Dengan baju yang basah terkena keringat dan rambut yang acak-acakan membuat Alvin terlihat keren. Eh? Aku kenapa sih? Kok akhir-akhir ini sering memikirkan Alvin? huh, menyebalkan!
Dari ekor mataku aku melihat Alvin menatapku sebentar, lalu mengalihkan tatapannya kedepan kelas sembari duduk di bangkunya. Melihat itu aku tersenyum tipis.
“Eh ada PR gak?” tanya Alvin. sebenarnya aku tak tau Alvin berbicara dengan siapa. Tapi melihat tatapan Alvin menuju kearahku aku tau pertanyaan itu untukku.
“Lo tanya ke gue?” tanyaku hanya ingin memastikan.
Alvin menghela nafas sejenak. Lalu mengangguk.
“Emm.. gak ada sih. Tapi ntar ada ulangan kimia,” kataku.
Alvin mengangguk-ngangguk tanda mengerti lalu dia mengambil buku paket kimia di dalam tasnya. Dan membacanya. Rajin juga Alvin, batinku terkagum-kagum.
Sepertinya aku mulai jatuh cinta dengan Alvin. tapi bagaimana dengan Zevana? Apa aku harus menghianatinya? Tidak! Aku tidak seperti itu. aku harus melupakan Alvin kalau begitu. Harus! Demi Zevana.
Okelah aku teralu munafik. Tapi aku lebih mementingkan persahabatan daripada cinta. Lebih baik aku mengalah saja.
*
Istirahat. Aku hanya diam didalam kelas. aku malas keluar kelas. Entah kenapa gara-gara masalah itu aku jadi ingin menyediri. Aku tak kuat menatap Zevana. Aku takut kalau Zevana tau aku menyukai Alvin, Zevana akan membenciku.
“Agnii…” panggil seseorang. Aku kenal dengan suara ini. Aku menoleh kearah seseorang yang memanggilku.
Ketiga sahabatku menghampiriku. Ya, tadi Zevana yang memanggilku. Aku menyunggingkan senyuman tipis. Aku harus bersikap biasa saja. Aku takut mereka bertiga curiga dengan sifatku yang menjadi seperti ini.
“Kenapa?” tanyaku.
Mereka bertiga duduk didekat bangkuku. Zevana duduk dibangku Alvin, sedangakan Shilla dan Ify duduk didepan bangkuku.,
“Hey Ag, kenapa lo? Tumben gak keluar?” tanya Ify.
“Gak apa-apa sih. Gue Cuma males keluar aja,” jawabku. Maaf aku berbohong.
“Oh.. eh tau gak Ag? Gue udah jadiaannn…,” kata Zevana senang. Aku mendesah pelan, aku harus mengalah.
“Ya nih Ag, si Zeva gak mau ngasih tau kalau dia naksir si rizky! Emang kurang asem nih anak, ngomongnya kalau udah jadian doang!” protes Shilla yang disetujui Ify.
Aku terperangah. Rizky? Lho, bukannya Alvin?
“Eh bentar bentar Ze, bukannya lo naksir Alvin?” tanyaku.
“Alvin?” tanya Zevana bingung kepadaku. Aku mengangguk.
Zevana tertawa. “Gila lo Ag. Kata siapa gue naksir Alvin? gue Cuma ngefans doang kok sama dia! Alvin keren sih,” jelas Zevana. Seketika itu juga aku merasa lega. Berarti aku masih ada kesempatan buat deketin Alvin!
“Emang kenapa Ag? Lo naksir Alvin yaa?” goda Ify.
Shilla dan Zevana ikut-ikutan Ify menggodaku. Tak pelak kalau rona merah menjalar dipipiku. Dan itu membuat ketiga sahabatku makin gencar menggodaku bahwa aku menyukai Alvin.
“Kalian ngomongin gue?”
OH GOD!! Matilah aku! Kenapa dia tiba-tiba dateng aja sih?
Alvin –yang mendengar percakapan kami- berdiri disampingku. Menatap aneh kami berempat. Aku salting begitu juga ketiga sahabatku yang tak menyangka Alvin yang tiba-tiba disini.
“Hehehe….” Zevana, Shilla, dan Ify nyengir garing. Aku hanya diam. Aku tak tau harus bereaksi seperti apa!
“Berarti bener?” tanya Alvin –lagi-.
“Iya Vin, kita ngomongin kalau Agni naksir elo! Upss..” Shilla membekap mulutnya sendiri. Aku menatapnya tajam. Aduuhh… mati aku!
“Hah? Elo naksir gue Ag?” tanya Alvin sambil menatapku lekat-lekat.
Aku menghembuskan nafas panjang. Aduuhh… aku harus jawab apa?!
“Jawab iya aja Ag!” bisik Zevana. Aku melototi Zevana. Enak saja dia bilang begitu!
Alvin masih menunggu. Sedangkan aku masih bungkam. Aku melirik Alvin dengan ekor mataku. Ternyata Alvin masih menatapku. Aduuh, bagaimana ini?
“Jujur aja kali Ag!” seru Alvin santai. Ck, gimana aku bisa jujur?
“Ampun deh lo Ag, yaudah deh Shill, Ze kita mendingan jangan disini! Nanti Agni jadi gak berani ngomong kan. Yaudah Agni good luck ya sayang. Alvin awas kalau lo bikin sahabta gue nangis!” kata Ify. kemudian Ify, Shilla, dan Zevana berdiri dari duduknya dan meninggalkan aku berdua dengan Alvin. aku jadi makin salting.
“Jadi…?” tanya Alvin meminta kepastian.
Aku mengulum bibir, lalu mengigit bibir bagian bawah. Aku menarik nafas dan menghemuskannya perlahan. Dengan keberanian secuil aku mengangguk, mengiyakan jawaban Alvin.
“Terus?” tanya Alvin. lagi-lagi Alvin bertanya santai seolah tidak terjadi apa-apa. Sedangkan aku? Aku sekarang spot jantung. Dan aku kehabisan kosakata untuk membalas ucapan Alvin tadi.
“Terus kenapa?” tanyaku. Bingung. Hanya itu yang aku rasakan!
“Lha terus lo mau apa sama gue?”
“Hah? Maksudnya?” aduuhh Alvin emang bener-bener gak jelas kalau ngasih pertanyaan.
“Ck, lo mau gue jadi cowok lo?”
“Aneh banget sih Vin pertanyaan lo?”
Alvin menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Dia sebenernya bingung mau berkata apa!
“Gini aja deh. Gue juga suka sama lo! So, lo mau gak jadi cewek gue?” kata Alvin to the point.
Mataku melebar. Aku tak menyangka kalau jadinya akan seperti ini. aku tersenyum lebar dan mengangguk. Lalu Alvin menarikku yang masih terduduk untuk berdiri, dan membawaku kedalam pelukannya. Hangat.
Aku membalas pelukan Alvin. Membuat Alvin makin mengeratkan pelukannya.
“Ciee… yang udah jadian!” goda ketiga sahabatku. Sontak Alvin melepaskan pelukannya. Dan ketiga sahabatku malah tertawa puas. Membuat aku dan Alvin salting.
“PJ-nya jangan lupaa….,” kata Ify.
Kami berlima pun tertawa bersama. Alvin menggegam erat tangannku. Aku menatap Alvin dan tersenyum. Alvin balas menatapku dan tersenyum. Hari ini aku bahagia sekali. Semoga aku dan Alvin bisa bersama selamanya. Semoga saja!


FIN~~~