Gadis itu menyebrang jalan tanpa menengok ke kiri dan kanan. Tubuhnya seketika kaku melihat apa yang ada di kanannya semakin mendekat kearahnya. Dia seakan tak bisa bergerak. Otot-otot kakinya seakan tak berfungsi lagi sehingga kedua kakinya tak bisa digerakkan. Dia hanya bisa terpaku melihat pemandangan itu. Sehingga membuatnya…..
“AAAAAAAAA…………..”
Rio terbangun dari mimpinya. Napasnya terengah-engah. Mimpi buruk lagi. Akhir-akhir ini mimpi yang sama selalu menghantui tidurnya. Mimpi yang dulu pernah menjadi kenyataan. Kenyataan yang menyiksa batinnya. Kenyataan yang membuatnya kehilangan sesuatu yang berharga di hidupnya. Bintang hatinya. Bintang yang selalu bersinar di hatinya. Tapi sekarang, sinar bintang itu telah redup.
Rio berdiri. Berjalan kearah meja belajarnya. Mengambil kotak yang slama ini ia simpan di laci meja belajarnya. Rio membuka kotak itu, mengambil sesuatu yang ada di dalamnya. Lalu berguman, “Maafkan aku….”
***
Iel menaiki anak tangga rumahnya dengan cepat. Hari ini dia capek sekali. Acara Dies Natalis GHS yang selesai sampai malam. Meski acara sudah selesai dari jam 8 malam, Iel masih harus rapat terlebih dahulu dengan anggota OSIS lainnya yang membuat dia pulang jam 10 malam.
Iel menatap pintu yang bergambarkan gambar tengkorak yang dibawahnya terdapat tulisan WARNING! Iel menatapnya dengan tatapan sendu. Dia sangat merindukan sosok yang ada di balik pintu itu. Semuanya tentang sosok itu. Tapi…. Dia telalu sakit hati atas apa yang dilakukan sosok itu terhadapnya.
Tanpa buang waktu lagi. Iel kembali meneruskan langkahnya. Kali ini dia langsung menuju ke kamarnya.
***
Apakah waktu bisa menghapus sosok itu dari pikirannya?
Iel menguap. Tadi malam ia begadang mengerjakan tugas yang terbengkalai karena acara Dies Natalis GHS. Kalau saja dia tak sibuk mengurusi ini-itu, dia bisa saja menyelesaikan tugas itu selsai dia menerimanya. Tapi keadaan menyitanya untuk tidak mengerjakan tugas itu.
Seperti biasa. Setiap ada Iel, terkadang siswi kelas X banyak yang histeris melihatnya. Iel yang sudah terbiasa dengan situasi tersebut, tidak merasa risih sama sekali diteriak’i oleh adik kelasnya yang kebanyakan perempuan itu. Dia santai saja—tak ayal banyak siswa kelas XII yang tidak suka padanya. Mungkin mereka iri melihat Iel yang selalu menjadi pusat perhatian perempuan-perempuan yang ada di sekolah.
Pandangan Iel terpaku pada sosok gadis mungil yang sedang bergurau-ria dengan temannya. Dia kenal dengan gadis itu. Gadis yang kala itu menabraknya. Gadis yang mirip dengan seseorang yang ada dimasa lalunya. Gadis yang dulu mengisi hari-harinya.
Iel menghela napas berat, lagi-lagi dia mengingat sosok itu. Padahal dia sudah berusaha melupakan sosok yang pernah jadi bagian dari hidupnya. Tapi kenapa sosok itu sangat sulit untuk dilupakan? Iel menggelengkan kepalanya pelan. Lalu segera melanjutkan langkahnya menuju kelasnya yang masih jauh dari tempatnya berdiri tadi.
***
Wajah Agni yang semula berseri-seri seketika dongkol melihat Monster Es yang sudah duduk manis di bangkunya. Earphone menjuntai indah dikedua telingannya, dan tangannya memence-mencet iPod putih yang selalu dibawanya kemana-mana. Seperti biasa, wajah Monster Es itu selalu cuek dan dingin. Dan Monster Es itu jarang bergabung dengan kerumunan-kerumunan anggota kelasnya. Dia lebih suka menyendiri tinimbang beramai-ramai.
Agni membanting tas di mejanya cukup keras. Sehingga Monster Es itu menatap Agni heran. Tapi itu tidak berangsur lama, karena setelah itu dia kembali melakukan aktivitasnya yang sama sekali tidak penting!
Agni mencibir melihat tingkah laku Rio—Monster Es—yang selalu membuatnya naik darah. Melihat wajahnya saja Agni sudah ingin melontarkan cacian ataupun makian untuknya. Tapi dia malas melakukan itu. Nanti gue dicuekin lagi! Pikirnya.
Daripada Agni tambah emosi melihat Rio. Dia memutuskan untuk bergabung dengan teman-teman perempuannya. Meski jujur saja dia bakalan boring! Tapi mau bagaimana lagi? Daripada dicuekin sama Monster Es itu!
***
Leave me in the dark!
Lelaki itu menebarkan bunga diatas gundukan tanah yang masih basah. Air matanya tak henti-hentinya membasahi pipinya. Gerimis pun ikut menemaninya. Dia mengusap-usap batu nisan dengan lembut, mengibaratkan batu nisan itu sebagai kepala seseorang yang telah meninggalkannya.
“Kenapa begitu cepat kau meninggalkanku?” tanyanya. Tangisannya makin menjadi.
“Kenapa?” tanyanya dengan menaikkan suaranya satu oktaf.
Dia mencengkram gundukan tanah. Di benaknya berkelebat siluet-siluet indah tentangnya dengan seseorang yang sekarang sudah terkubur dalam gundukkan tanah yang saat ini dicengkramnya. Seseorang yang telah memiliki hatinya. Seseorang yang selalu mengisi hari-harinya. Seseorang yang selalu membuatnya tersenyum.
Napasnya seketika memburu. Dengan langkah besar lelaki itu menghampiri seseorang yang tidak jauh dari tempatnya tadi. Dia menatap tajam seseorang yang sekarang ada dihadapannya. Tanpa buang waktu lagi, dia menonjok orang itu.
BUGH
“Kenapa lo bunuh dia hah? Kenapa? Kenapa? Kenapa…”
BUGH
Tonjokkan itu masih berlanjut. Dia tak bisa menghentikan dirinya untuk tidak menonjok orang itu.
“Gue.. gue… gue—”
BUGH
Sebelum orang itu menyelesaikan ucapannya. Dia sudah menonjok orang itu lagi.
“Gak usah banyak bacot lo! Kenapa lo bunuh dia? Kenapa? Kenapa? Arghhh……”
BUGH
Tiba-tiba saja ada seseorang yang buru-buru melerai perkelahian sengit diantara mereka berdua. “Stop! Stop! Kalian bisa diem gak sih hah?” tanyanya. Mereka berdua tidak melanjutkan perkelahian mereka yang terhenti. Lelaki itu masih menatap orang yang tadi dia tonjok, sedangkan orang yang ditatap hanya menundukkan kepalanya.
Orang yang melerai perkelahian merek berdua menghela napas lalu menggelengkan kepalanya. “Yel, gue tau lo pasti sangat kehilangan adek gue. Tapi gak gini kan caranya? Lo jangan nyalahin Rio dong! Semua ini kecelakaan. Gue juga sedih kehilangan adek gue yang ceria. Adek gue satu-satunya. Adek gue pasti gak pengen ngelihat lo berdua berantem kayak gini. Terutama lo Yel. Lo jaga emosi lo dong!” jelas orang itu.
Iel melengos, dia masih membenci saudaranya sendiri atas apa yang telah ia lakukan kepada kekasihnya.
Rio? Dia masih menundukkan kepalanya. Dia tak mau menatap saudara kembaranya itu. Dia merasa sangat bersalah atas apa yang telah dia lakukan terhadap saudaranya itu.
***
Agni dan Alvin berjalan beriringan di koridor sekolah. Mereka saling melontarkan lelucon di sepanjang jalan. Membuat keduanya tertawa menanggapi lelucon yang menggelitik mereka berdua.
“Eh Ag, ikut camping gak?” tanya Alvin.
Agni berpikir sejenak, “mungkin ikut. Tapi liat ntar ajadeh! Lo?”
“Ikutlah. Hehe,” cengir Alvin.
“Jah, jangan bilang gara-gara ada si—hmppptt…” Alvin membekap mulut Agni. Lalu menatapnya garang.
“Stt… ntar ada yang denger Ag!”
Agni mencibir. “Halah gaya lo pin!”
“Bodo ah. Yuk cepetan ke kelas!” Alvin menarik tangan Agni agar mereka cepat sampai di kelas mereka berdua.
***
Setelah sekian banyak kejadian yang datang menerpa, hanya satu yang membuat kekakuan diantara mereka berdua. Sehingga menjadikan tabir kokoh yang berdiri angkuh, seakan tak mau tertandingi.
Iel mendesah. Setelah sekian lama dia berkutat dengan tugas matematikanya yang membuat kepalannya hampir pecah. Sudah berbagai cara dia coba untuk mengerjakan soal itu. Tapi hasilnya sama saja, menggantung!
Iel mengulum bibirnya. Mengerjakan soal matematika membuat bibir dan tenggorokannya kering. Cacing-cacing di perutnya juga sudah berteriak-teriak meminta makanan. Tapi dia malas mengambil makanan. Dia tak mau melihat wajah seseorang yang slama ini dihindarinya. Setiap kali bertemu dengannya, bisa membuat adrenalin-nya berpacu lebih cepat. Dan itu membuatnya slalu ingin menghajar orang itu.
Tapi, lama-kelamaan Iel jadi tidak betah dengan situasi seperti ini. Perutnya tidak bisa diajak kompromi. Dengan berat hati, Iel memutuskan untuk turun ke lantai bawah, lebih tepatnya ke dapur. Entahlah kejadian apa yang akan terjadi setelah itu. Yang paling penting perutnya terisi dan dia bisa mengerjakan tugasnya yang belum selesai. Nanggung kurang sedikit!
Iel menuruni satu-persatu anak tangga dengan langkah cepat. Karena sudah menjadi kebiasaannya bahwa: Time is Money. Maka dari itu, dia tak mau membuang waktu sedikitpun. Dan itu membuatnya sangat disiplin.
Didasar tangga. Pandangannya menyapu keseluruh ruangan. Lalu pandangannya jatuh kepada seseorang yang sedang menyeduh cappuccino-nya di sofa sambil menonton TV. Seketika itu juga tangannya mengepal. Rahangnya mengeras. Tapi dia langsung menghilangankan keinginannya untuk menghajar orang itu. Dia tak mau memperpanjang masalah.
Iel melenggang dengan santai. Seolah-olah hanya dia sendiri yang ada di ruangan itu. Dia tak menghiraukan tatapan sendu dari orang yang duduk do sofa tadi. Yang dia inginkan hanyalah cepat-cepat mengambil minum dan makanan yang akan dia bawa ke kamarnya. Dia tak mau berlama-lama ada disana. Hanya akan membuat amarahnya membludak.
***
Senyumannya, tingkah lakunya, suarannya, semuanya tentangnya selalu terlintas dipikiranku. Tiap detik, menit, maupun jam selalu sama. Hanya dia yang kupikirkan.
Alvin termenung. Saat ini dia ada di ruang kesehatan. Sebenarnya dia tidak sakit, hanya saja dia ingin bertemu dengan seseorang. Seseorang yang akhir-akhir ini telah mencuri hatinya. Seseorang yang slalu ada dipikirannya.
Alvin mendesah, sudah setengah jam dia disini. Tapi sama saja. Dia tak menampilkan batang hidungnya sama sekali. Alvin jadi tambah khawatir. Dia takut kalau-kalau gadis itu tidak masuk karena sakit. Karena dari kemarin dia sama sekali tak melihat gadis itu. Hari-harinya pun tak berarti tanpa bertemu dengan gadis itu.
Alvin berdecak lantas segera berdiri dari duduknya di ranjang ruang kesehatan. Dia bosen sendirian disana. Tak ada Agni yang menemaniya. Agni ada urusan dengan ekskul Pencinta alam. Memang Agni menggeluti ekskul itu. Meski tubuhnya mungil dan kurus, Agni tak merasa letih saat mendaki gunung atau kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan Alam. Karena jiwanya sudah menyatu dengan alam. Jadi, apapun yang berhubungan dengan alam. Pasti dia suka. Beda dengan Alvin. Tubuhnya yang kurus selalu membuatnya letih saat mendaki gunung. Dan saat camping atau kegiatan apapun yang berat-berat dia akan langsung jatuh sakit. Jadi, Alvin jarang mengikuti kegiatan yang berbau alam, karena itu bisa membuat ketahanan tubuhnya drop dan membuatnya jatuh sakit. Tapi kali ini, dia tak mau melewatkan acara camping itu. Dikarenakan seorang gadis yang saat ini ditungguinnya di ruang kesehatan. Kalau dia sakit, nantikan ada gadis itu yang akan merawatnya—karena gadis itu tergabung dalam PMR. Mangkannya Alvin sekarang ada diruang kesehatan. Ingin bertemu punjaan hatinya sih.
Alvin membuka pintu, tiba-tiba saja ada teriakan dari luar. Alvin melonjak kaget. Gadis manis yang berkulit putih jatuh tersungkur kebelakang. Salah satu tangannya memegangi keningnya yang memerah, dan tangan yang satunya lagi membantunya agar bisa berdiri dari duduknya.
Alvin menganga melihat gadis itu, “Elo…”
Bersambung…
comment on my FB: Entin Endah Cahyati




0 komentar:
Posting Komentar