Minggu, 11 September 2011

Masa Lalu yang Terulang Kembali part 4

Alvin membuka pintu, tiba-tiba saja ada teriakan dari luar. Alvin melonjak kaget. Gadis manis berkulit putih jatuh tersungkur kebelakang. Salah satu tangannya memegangi keningnya yang memerah, dan tangan yang satunya lagi membantunya agar bisa berdiri dari duduknya.
   Alvin menganga melihat gadis itu, “Elo….”
   Gadis itu berdiri lantas menatap Alvin dengan kening berkerut. “Kenapa kamu ada di ruang UKS? Sakit?”
   Alvin mengangguk, “tapi sekarang udah baikan kok. Eh jidat lo gak apa-apa kan?” Alvin menyentuh kening gadis itu, mengecek apakah keningnya baik-baik saja atau sebaliknya.
   Gadis itu meringis. Keningnya yang barus saja tercium pintu terasa begitu sakit. Alvin jadi kelimpungan sendiri melihat gadis itu meringis kesakitan.
   “Aduh, lo gak apa-apa kan? Aduh… yang mana yang sakit?” tanya Alvin panik.
   Gadis itu menggeleng. “Gak terlalu sakit sih. Ini juga udah mendingan.”
   “Aduh gak bisa. Sini gue obatin, nanti takutnya benjol lagi.” Alvin membantu gadis itu berjalan menuju kedalam ruang UKS. “Bentar ya, gue nyari air es dulu. Lo jangan kemana-mana!” kata Alvin, lalu dia segera
berlari meninggalkan gadis itu yang masih terbengong-bengong di tempatnya.
***
   “Sorry udah bikin lo nunggu lama.” Alvin mengambil kursi dan menggeretnya disamping tempat gadis itu duduk. Baskom berisi air dingin ada dipangkuannya. Tangannya yang putih mencelupkan handuk kecil kedalam baskom. Lalu mengusapkannya ke kening gadis itu.
   “Aw…”
   “Sakit ya?” tanya Alvin.
   Gadis itu mengangguk. Alvin lebih hati-hati lagi mengusapkan handuk ke kening gadis itu. Gadis itu menatap Alvin dalam. Dia tidak pernah sedekat ini dengan lelaki manapun. Dan itu membuat jantungnya hampir meledak. Wajahnya pun memanas, mungkin saja wajahnya sekarang sudah merah seperti kepiting rebus.
   “Selesai.” Alvin menurunkan tangannya yang tadinya mengusap-usap kening gadis itu. Terus Alvin menaruh baskom dan handuk kecil di meja kecil yang ada didekatnya. Lalu menatap gadis itu yang masih menatapnya.
   Pandangan mereka bertemu. Getaran-getaran halus menjalar ditubuh keduanya. Alvin menggelengkan kepalannya, lalu membuang muka. Dia yakin sekarang pipinya yang putih sudah memerah sangking malunya. Begitu juga gadis itu.
   “Makasih ya,” ucap gadis itu tulus. Alvin mengangguk sambil tersenyum.
   “Yaudah, udah hampir bel nih. Gue balik dulu ya ke kelas!” pamit Alvin sambil membawa baskom.
   Alvin membuka pintu, lalu melangkah keluar. Tapi langkahnya terhenti ketika gadis itu bertanya, “eh, nama kamu siapa?”
   Alvin tersenyum lalu berteriak, “ALVIN.” Alvin pun melanjutkan langkahnya.
   Gadis itu tersenyum. “Alvin ya? Nama yang bagus.”
***
   Agni mengibaskan tangannya kedepan wajah Alvin. Alvin yang tengah melamun mengabaikan Agni yang berusaha menyadarkan dirinya. Diatas kepala Agni, tiba-tiba saja ada lampu yang menyala. Dia punya ide untuk menyadarkan sahabatnya itu.
   Agni menyiapkan kata-kata yang pas untuk menyadarkan Alvin. Setelah itu, dia dekatkan mulutnya ketelinga Alvin. Sudah cukup dekat, Agni membisikkan empat patah kata yang sengaja ia ucapkan lambat.
   “HAH? MANA? MANA?” Alvin berteriak kencang. Matanya mencari-cari seseorang. Semua penghuni kelas menatap Alvin bingung. Alvin balas menatap teman-temannya dengan tampang polos.
   “Buahahahahaha…. Aduh lucu banget sih elo Vin!” Agni terbahak-bahak melihat tampang Alvin.
   Alvin yang semula tak mengerti, mulai mengerti ketika melihat Agni menertawainya. Wajahnya seketika memerah—menahan amarah. Tangannya mengepal. Lalu dengan gerakan cepat, Alvin menggeret Agni keluar dari kelas.
   “Aduh apaan sih Vin?” tanya Agni. Tangannya yang bebas mencoba melepaskan tangannya yang kena cengkraman tangan alvin.
   “Ih, gara-gara lo tau Ag gue jadi malu! Ah emang kurang asem lo.” Alvin melepaskan cengkaraman tangannya saat mereka berada di taman. Mumpung taman sudah mulai sepi. Kurang beberapa menit lagi bel neraka berkumandang. Jadinya banyak siswa/i yang sudah duduk manis di kelasnya masing-masing.
   “Salah sendiri ngelamun mulu. Yaudah gue punya niat iseng deh buat nyadarin elo. Hahaha, ternyata emang manjur ya?” Agni tertawa lagi. “Emang lo ngelamunin apa sih?”
   “Gak gue kasih tau. Lo juga udah tau Ag.”
   “Ohh…, mangkanya kaget banget pas gue bisikin itu. Eh udah mau bel nih. Yuk ke kelas,” ajak Agni yang dianggukki oleh Alvin.
***
Takkan pernah habis air mataku bila ku ingat tentang dirimu.
(Kerispatih – Mengenangmu)

   Mata lelaki itu memanas. Tanpa dikomando cairan bening berdesakkan ingin keluar dari matanya. Membentuk aliran sungai kecil di pipinya. Lagi-lagi wanita itu membuatnya menangis seperti ini. Sudah berkali-kali dia harus menangisi sesuatu yang—sudah—tak nyata di dunia ini.
   Lelaki itu cengeng? Ayolah semua manusia bisa menangis bukan. Gender tak berlaku untuk itu. Bukan hanya wanita yang bisa menangis jika ada masalah, lelaki pun bisa. Apalagi kalau masalah itu berat sekali. Sama halnya dengan masalah lelaki ini. Sudah bertahun-tahun masalahnya tak kunjung selesai, malah makin menjadi-jadi.
   Disetiap sujudnya dia selalu berdoa. Dia ingin kembali ke masa lalunya. Dia ingin merubah takdirnya, takdir hidupnya. Meski akhirnya dia juga—masih—menderita. Tapi, dengan itu semua orang-orang disekitarnya tidak akan menderita lagi. Salahkah keputusan itu?
   Stop! Sudah saatnya dia bangkit. Bangkit dari keterpurukkannya slama ini. Dia tak mau menyalahkan takdir lagi. Sudah cukup dia meringkuk sendirian. Sudah cukup dia menderita. Sudah cukup takdir mempermainkannya. Dia harus berbuat sesuatu. Sesuatu yang bisa membuat semuanya lebih baik, bukannya makin memburuk. Dan semoga itu keputusan terbaik yang harus ia ambil.
***
   Iel mencomot roti isi dengan gerakkan cepat. Kedua orangtuannya yang sudah menuntutnya untuk sarapan bersama. Kemarin, kedua orangtuanya baru saja pulang dari Amerika. Lima bulan sekali mereka kembali ke Indonesia hanya untuk menge-check perusahan yang ada di Indonesia saja. Seminggu kemudian, mereka kembali lagi ke negri orang untuk berbisnis lagi. Seperti tidak memperdulikan kedua anaknya. Mereka hanya memperdulikan uang, uang, dan uang.
   Biasanya Iel selalu sarapan di kantin sekolah. Dia ogah sarapan semeja dengan Rio. Untuk kali ini aja, jangan harap besok gue mau kayak gini!
   Rio memperhatikan saudaranya itu. Dia tersenyum miris. Suasana di meja makan sekarang hanyalah suara dentingan pisau dan garpu yang beradu dengan piring. Itu saja. Tak ada gurauan dan candaan. Mereka asyik tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sebenarnya Rio tak suka dengan atmosphere yang seperti ini. Lebih baik dia sarapan sendiri, daripada makan beramai-ramai tapi seperti makan bersama patung. Tak ada artinya.
   “Ma, Pa, Iel berangkat dulu.” Tanpa mengucap beberapa patah kata lagi. Iel langsung menuju garasi dan mengeluarkan Volvo hitamnya. Terdengar deruan Volvo-nya. Tapi beberapa menit kemudian, Volvo itu sudah melaju dengan kecepatan diatas rata-rata meninggalkan rumah mewah bergaya Eropa.
   Rio mendesah. Lagi-lagi Iel menganggapnya bayangan yang tak terlihat. Sebegitukah besarnya kesalahan gue dimata lo Yel?
   “Ma, Pa, Rio juga mau berangkat.”
   Dengan angkuh. Rio berdiri dari duduknya lalu berjalan keluar rumah. Menaiki Cagiva merahnya yang baru saja dicuci oleh tukang kebun rumahnya. Rio menstater Cagiva-nya lalu dia melajukan Cagiva-nya keluar dari rumah.
***
   “Eh, lo kenal sama yang namanya Alvin gak?”
   “Alvin? anak kelas apa?”
    “Gue gak tau!”
   “Yaelah kenapa lo nanya?”
   “Ya gue pengen tau aja dia ada di kelas apa?”
   “Kalau gitu ciri-cirinya.”
   “Emm, kulitnya putih, matanya sipit, rambutnya harajuku. Tau gak?”
   “Putih, Sipit. Nama Alvin yang kulitnya putih banyak, kalau yang matanya sipit ada beberapa. Kalau kulitnya putih sama matanya sipit sih kayaknya anak kelas XI IPA  2 deh.”
   “XI IPA 2, sekelas sama Ray dong?”
   “Iyaahh sayangku. Emang ada apa sama Alvin itu?”
   “Gak apa-apa!”
   Gadis  manis yang berkulit putih itu tersenyum. Akhirnya dia tau Alvin yang pernah menolongnya saat insiden tercium-pintu-UKS itu kelas apa. Ternyata dia sekelas dengan dengan saudara sepupunya, Ray. Alvin juga yang membuat gadis itu tidak bisa tidur semalaman. Membuat pipi-nya merona saat adegan saling-tatap-menatap-meski-setengah-menit. Sungguh menggelikan.
   Hemm, XI IPA 2 ya?
***
   Agni menghempaskan pantatnya di kursinya. Dibonceng kakaknya melewati jalan yang lebih bagus dari jalan beraspal (re: jalan berbatu) membuat pantatnya sakit. Punggungnya yang juga terkena efek jalan yang lebih bagus dari jalan beraspal, sakitnya tak kalah dengan sakit dipantatnya. Berkali-kali dia mengelus-elus punggungnya yang malang (tak mungkin Agni mengelus-elus pantatnya juga, nanti dikira mau nangkep kentutnya lagi). Dalam hati dia merutuki kakaknya yang goblok mencari jalan pintas—kakaknya lupa membawa SIM, jadinya mereka lewat jalan pintas. Dia tak mau lagi kalau kakaknya tidak membawa SIM mereka lewat jalan pintas. Lebih baik naik metromini atau busway, walaupun nantinya desak-desakkan kayak cendol dalam gelas.
   Agni melirik Rio dari ekor matanya. Rio tengah membaca buku yang entahlah Agni tak begitu paham itu buku apa. Yang pasti itu bukan buku pelajaran. Kalau buku pelajaran, mungkin saja ia bisa mengenalinya dengan hanya melihat sampulnya.
   Agni mengendikkan bahu. Lalu menoleh kebelakang. Tersenyum memandang seseorang yang melambaikan tangan kearahnya lalu Agni menghampirinya.
   “Hai Vin, Ray, Dev, Lin, lagi ngapain kalian?” tanya Agni sambil mengamati aktifitas teman-temannya ini.
   “Lagi main UNO Ag, ikut?” tanya Deva.
   “UNO, gimana cara mainnya?”
   “Cuma nyocokkin warna aja kok Ag. Ikutan yah? Sambil nunggu bel masuk nih,” kata Alvin, padangannya masih fokus kearah kartu UNO-nya.
   “UNO. Yeay!” sorak Lintar.
   Agni memperhatikan Lintar. “Jah lo menang mulu Lin. Kartu gue asem semua!” sunggut Ray. Agni beralih memeperhatikan Ray.
   “Ahahaha, nasib lo kurang mujur bray. Eh ntar yang kalah paling banyak traktir mie ayam di kantin nyok!” usul Lintar.
   “Gak setuju, enak di elo dong Lin. Ah sial lagi gua!” Ray mengacak-acak rambutnya yang gondrong sangking kesalnya.
   “Huahaha, udah deh Ray setuju aja. Yeee kartu gue udah habis!” sorak Alvin.
   Sekarang Deva dan Ray saling memperebutkan kedudukkan. Kadang Ray kartunya yang paling banyak, kadang juga deva yang kartunya paling banyak. Tapi, sekarang sisa kartu yang paling banyak dipegang oleh Ray. Dengan air muka serius, Ray bertarung memperebutkan kemenangan dari Deva. Tapi apakah dia bisa? Dan apakah yang terjadi?
   “Horeee gue menang. Yuhuuu, Ray lo yang harus traktir kita mie ayam ntar!” sorak Deva sambil berjoget-joget senang. Agni yang sedari tadi memperhatikan tingkah laku keempat temannya  hanya bengong saja.
   “Iyaiya gue kalah. Ntar istirahat pertama gue traktir kalian deh. Awas aja ya, besok-besok kalian yang harus traktir gue makan.”
   “Aduuhh, gue pusing ngeliatin kalian. Ajarin gue main UNO dong. Pengen banget bisa main nih!” bujuk Agni.
   Keempat sahabatnya kelihatan masih berpikir. Lalu Alvin menjawab, “besok ajadeh Ag. Mau bel nih. Udahh bubar, bubar. Ntar kita serbu mie ayam di kantin. Horee!” Alvin, Deva, dan Lintar bersorak, sedangkan Ray dia manyun sendiri melihat kesenangan teman-temannya.
***
Kata orang cinta itu indah. Tapi kenyataannya cinta itu menyakitkan. Saat prahara datang mengusik cinta. Kita tak akan pernah tau, sampai kapan cinta akan terus bertahan.

   “Sayang, kamu cinta gak sama aku?”
   Gadis itu tersenyum mendengar pertanyaan dari lelaki yang sekarang berbaring berbantalkan pahanya. “Ya cinta dong. Kamu ini nanyanya aneh banget sih.”
   “Beneran? Buktiin dong!”
   “Kamu mau bukti apa coba?”
   “Emm… apaya? Perhatian kamu ajadeh!” jawab lelaki itu sambil tersenyum.
   Gadis itu balas tersenyum, “haha, boleh kok. Kurang ya perhatianku selama ini buat kamu?”
   “Kurang banget!”
   Gadis itu memainkan rambut lelaki yang tiduran dengan bantalan pahanya. “Ya maaf deh. Nanti diperhatiin lagi yah.” Dia mencubit hidung lelaki itu.
   “Aw, ish apaan sih.” Lelaki itu menyingkirkan tangan gadis itu dihidungnya. “Gitu dong. Jangan suka selingkuh juga, nanti aku cemburu lho.”
   Gadis itu tersentak. Hatinya seakan tertohok benda lancip. Dengan perasaan bersalah, gadis itu memperhatikan wajah lelaki yang sekarang menyandang status sebagai kekasihnya. Lelaki itu menatap cincinnya dan mempermainkannya. Seakan tak ada masalah. Tapi sebenarnya ada. Gadis itu tahu, apa yang dilakukannya salah. Dia juga tak tau kenapa bisa jadi seperti ini. Dia juga tak mau, kejadian yang selama ini tak diinginkannya terjadi. Tapi semua itu berjalan diluar nalarnya. Berkali-kali dia bertanya-tanya, apa yang harus dia perbuat? Tapi kenapa tak ada satupun jawaban yang didapatkannya dari otaknya.


Bersambung….

comment on my FB: Entin Endah Cahyati

0 komentar:

Posting Komentar