“Vin, temenin gue buat spanduk dong!” bujuk Agni.
Alvin yang tengah menyantap nasgor-nya menoleh kearah Agni. “Sama patner lo dong Ag.”
Agni menggembungkan pipinya, “aelah Vin. Temenin gue napa? Ayo dong! Alvin ganteng deh.”
Alvin menggelengkan kepalanya—pertanda dia tidak mau. “Emangnya ada apa sih sama Rio?” tanya Alvin heran.
Agni menghela napas, “biasa!”
Alvin hanya membulatkan mulutnya. Dia sudah hafal betul dengan sifat Rio yang cenderung tidak mau peduli dengan sekitarnya. “Tapi gue gak bisa Ag. Lo tau sendirikan tugas gue lebih berat daripada elo.”
Seketika itu juga tubuh Agni melemas. Dia sudah tidak tau lagi harus meminta bantuan dengan siapa lagi.
***
Iel berjalan di koridor sekolah. Sambil bersiul-siul pelan. Tangannya menenteng tas yang berisi laptopnya dan dokumen-dokumen OSIS. Setiap ada yang menyapanya, dia selalu membalas dengan senyum manisnya. Dan itu membuat orang yang menyapanya tak bosan-bosan menyapanya bila bertemu.
BUGHH
Tas yang ditenteng Iel jatuh saat dirinya ditabrak seseorang. Orang yang menabraknya jatuh terduduk di lantai. Iel melongo. Tapi itu tidak bertahan lama. Iel pun buru-buru menolong seseorang yang menabraknya dan mengambil tas-nya yang juga ikut terjatuh.
“Aduh, sorry gue gak sengaja,” kata seseorang yang ditabrak Iel sembari membersihkan debu yang menempel di roknya.
Iel mengangguk dan tersenyum. “Lain kali hati-hati ya,” katanya ramah.
Orang yang menabrak Iel terpaku cukup lama. Dia tak menyangka orang yang ditabraknya itu Iel.
Iel bingung diperhatikan seperti itu. Lalu salah satu tangannya dikibas-kibaskan di depan wajah orang yang tadi menabraknya.
Orang itu tersadar dari lamunannya. Dia tersenyum malu mendapati Iel yang melihatnya kebingungan. “Eh maaf ya Yel. Maaf banget. Gue bener-bener gak sengaja. Maaf ya,” katanya beruntunan. Iel tersenyum kecil melihat tingkah laku orang yang ada dihadapannya ini. Seketika itu juga kedua pipi orang itu memerah, dan dia juga salah tingkah.
“Oke. Lain kali hati-hati ya mungil.” Iel tertawa renyah sembari mengacak-ngacak rambut orang yang ada dihapannya itu. Lalu dengan sopan ia pamit, dan meninggalkan orang yang menabraknya tadi.
***
“Heh Ag napa lo senyum-senyum kayak orang gila gitu?”
“Enak aja lo ngatain gue gila! Gue waras kali.” Agni cemberut. Dia kesal dikatain gila oleh sahabatnya itu.
“Lagian lo senyum-senyum sendiri kayak orang gila gitu sih. Emang ada apa? Iel lagi?” tanya sahabat Agni seakan sudah tau sebab yang selalu membuat sahabatnya jadi seperti orang gila. Senyum-senyum sendiri!
“Pinter! 100 buat Apiinn.”
“Kenapa gak seribu aja? Bisa buat beli gorengan tuh!”
“Enak aja! Gue ntar yang bangkrut.” Agni menjulurkan lidahnya kearah sahabatnya itu.
Alvin—sahabat Agni—mencibir, “halah lo itu emang pelit kali Ag. Gak usah bawa nama bangkrut segala deh!” sunggut Alvin.
Agni hanya nyengir menanggapi persepsi sahabatnya itu.
***
Hidupku tanpa cintamu. Bagai malam tanpa bintang.
(Tata Mahadewi – Risalah Cinta)
Lelaki itu menatap langit-langit kamarnya. Saat ini posisi laki-laki itu memang berbaring di ranjangnya. Kedua tangannya ia buat sebagai bantalan. Pandangannya lurus kearah langit-langit kamarnya yang berwarna putih bersih. Memang pandangannya berarah kesana. Tapi pikirannya sudah berkeliaran kemana-mana.
Kejadian bertahun-tahun yang lalu sangat membuatnya terpuruk. Kejadian yang telah merenggut kekasihnya. Kekasihnya yang selalu ia cintai namun telah menorehkan luka dihatinya. Dan kekasih yang telah membuatnya membenci saudaranya yang dulu sangat ia sayangi.
Lelaki itu menghela napas. Dia sebenarnya bingung dengan dirinya. Dia seakan bukan menjadi dirinya sendiri. Seakan berkamuflase dari sifat aslinya dulu. Dia juga tidak tau kenapa dia menjadi seperti itu. Semuanya terjadi seiring dengan berjalannya waktu. Dan itu semua jauh dari apa yang sudah ia perkirakan.
Tidak terasa cairan bening yang selama ini ditahannya berbondong-bondong menyeruak ingin keluar. Untuk kali ini, lelaki itu membiarkan cairan bening itu keluar tanpa harus dicegah. Dia cengeng? Mungkin. Dia sudah tidak peduli dengan kata cengeng lagi. Yang diinginkannya hanya satu. Mengeluarkan kesedihannya seiring dengan keluarnya cairan bening itu. Tapi apa itu bisa? Sebenarnya ia tidak terlalu yakin.
***
Agni sibuk menghiasi stand kelasnya. Untung saja setelah dibujuk dengan tampang melas—dia terpaksa membuang rasa gengsinya kepada Rio—akhirnya Rio mau ikut membuat spanduk bersamanya.
Dengan semangat, Agni berseliweran kesana-sini demi menghiasi stand kelasnya. Dia tak mau melewatkan moment-moment seperti ini. Toh tahun depan dia tak akan bisa berpartisipasi lagi diacara Dies Natalis sekolahnya itu. Kelas XII memang sudah tidak dianjurkan lagi untuk ikut berpartisipasi memeriahkan Dies Natalis. Mungkin hanya sebagai pengunjung dan penonton saja.
“Ag tugas lo sekarang buat kartu tanda pengenal. Modelnya yang unik ya!”
“Sip!” Agni mengacungkan ibu jarinya. Lalu segera mengambil kertas. Membuat desain terlebih dahulu. Lalu membuatnya dengan kertas yang sudah disediakan.
***
Hari yang sudah ditunggu-tunggu telah tiba. Dari pagi sudah banyak siswa-siswi GHS yang sudah berlalu lalang disegala penjuru sekolah. Dimana-mana tampak orang berseliweran kesana-kemari sambil membawa box yang berisi barang dagangan mereka.
Begitu pula anggota OSIS. Mungkin mereka yang paling sibuk hari ini. Sebelum Dies Natalis dimulai, semua anggota OSIS rapat terlebih dahulu. Agar acara bisa berlangsung dengan lancar, tanpa ada hambatan sama sekali.
Agni berlarian kecil menuju stand kelasnya. Dia sudah tak sabar menjadi penjaga kasir. Memang dia mencalonkan diri untuk menjadi penjaga kasir.
“Pagi semua,” sapa Agni riang kepada semua teman-temannya yang sibuk menata barang dagangan mereka.
“Pagi,” jawab mereka semua.
Agni menghampiri Alvin yang sibuk dengan laptopnya. Dia sedang mendata barang apa saja yang stand mereka jual. “Udah selesai Vin?” tanyanya.
Alvin menggelengkan kepalanya. “Belum. Gue kan gak jago-jago amat sama matematika. Ya lama lah ngitungnya.”
Agni membulatkan mulutnya. “Gue bantuin mau? Nilai matematika gue lumayan lah daripada lo!”
“Neng. Nilai lo emang bagus. Tapi gak usah nyindir gue napa?” ujar Alvin sinis.
Agni mencibir. “Jah gitu aja ngambek pin. Eh si Monster Es kemana? Kok batang hidungnya gak keliatan?” tanya Agni lantas mengedarkan pandangannya mencari sosok yang selalu membuatnya naik darah.
Alvin mengernyit, heran dengan sahabatnya itu. Kalau ketemu bawaannya pengen marah-marah, eh giliran gak ketemu malah nyariin. Aneh! “Tumben nyariin? Jangan-jangan BJC nih!” goda Alvin.
“BJC apaan Pin?” tanya Agni.
“Jah BJC gak tau! Benci Jadi Cinta Agnoy jeyek!”
Agni melengos. “WHAT? Benci Jadi Cinta? Cuih amit-amit jabang bayi. Ya Tuhan jangan kau kabulkan perkataan si Kodok buruk rupa ini ya Tuhan!” ucap Agni, kedua tangannya ia dekatkan di depan dada seperti orang berdoa.
“Lah. Gue cakep gini lo katain buruk rupa. Katarak mata lo Ag!” sunggut Alvin tidak terima dengan persepsi sahabatnya ini.
“Ck. Udah lah tiba-tiba aja gue bad mood debat sama lo. Mana gak penting lagi!” kata
Agni. Alvin pun mengangkat bahunya, lalu melanjutkan kembali aktifitasnya. Dan tidak membahas perdebatan itu lebih lanjut.
Agni. Alvin pun mengangkat bahunya, lalu melanjutkan kembali aktifitasnya. Dan tidak membahas perdebatan itu lebih lanjut.
***
Lelaki itu menikmati semilir angin pagi yang sejuk. Dari sini, dia bisa melihat betapa sibuknya orang-orang yang berlalu-lalang. Dia sebenarnya tidak peduli dengan acara tidak penting seperti ini. Jadinya dia menghabiskan waktunya di tempat ini.
Dia membaringkan tubuhnya di lantai. Menatap langit yang berwarna biru. Awan putih berarak mememperindah pemandangan di atas sana. Dia mencoba meyibak bentangan langit itu, mencoba mencari bintang yang selama ini dia rindukan. Tapi, kenapa hasilnya sama saja. Tidak ada bintang yang slama ini dia rindukan disana? Dimana sebenarnya bintangnya itu berada?
Laki-laki itu memejamkan matanya. Menghayati nyanyian angin yang terdengar di gendang telinganya. Nyanyian angin yang selalu memberinya pentujuk kemana dia harus melangkah. Kali ini dia tertegun. Dia mendengar angin bernyanyi bahwa tak lama lagi dia akan menemukan bintang barunya. Tapi siapa? Angin masih belum mau memberitahunya soal itu.
***
“Eh Rio dimana sih! Ini kartu namanya belum dipakek.”
“Tau tuh. Udah deh Rio aja. Paling-paling kalau gak mengasingkan diri ya dirumahnya lagi tidur!”
Agni sesekali mengedarkan pandangannya. Dia sedang mencari seseorang. Dia berharap orang yang dicarinya lewat di depan standnya. Tapi apakah mungkin? Mungkin orang yang dicarinya sibuk dengan tugasnya yang ia yakin tak sedikit sebagai murid terpenting di sekolah ini.
Agni selonjoran di karpet yang digelar disamping standnya. Dari tadi dia mencari seseorang yang sangat ingin dilihatnya. Tapi dia sama sekali tak melihat batang hidung orang itu. Padahal dia sangat ingin melihat wajah ramah yang menjadi cirri khasnya.
“Hay Ag, ngelamun aja.” Alvin selonjoran disamping Agni.
Agni menoleh kearah Alvin. Wajahnya terlihat sedih. “Gak apa-apa.”
Alvin mengernyit. Tumben-tumbennya Agni terlihat sedih seperti itu. Padahal seharian ini ia yakin kalau Agni tidak bertemu Rio sama sekali. Tapi apa gerangan yang membuat sahabatnya bersedih seperti itu? Dia jadi bingung. “Tapi kenapa lo sedih gitu?” tanyanya.
Agni menggelengkan kepalanya lantas segera beranjak dari duduk selonjorannya. Alvin pun tak ambil pusing dengan masalah sahabatnya itu.
***
Bintang malam katakan padanya
Aku ingin melukis sinarmu dihatinya
Embun pagi katakana padanya
Biar kudekap erat waktu dingin membelenggunya
Bintang malam sampaikan padanya
Aku ingin melukis sinarmu dihatinya
Embun pagi katakana padanya
Biar kudekap erat waktu dingin membelenggunya
Taukah engkau wahai langit
Ku ingin bertemu membelai wajahnya
Ku pasang hiasan angkasa yang terindah
Hanya untuk dirinya
Lagu rindu ini ku ciptakan
Hanya untuk bidadari ku tercinta
Walau hanya ada sederhana
Izin kan ku ungkap segenap rasa dan kerinduan
Taukah engkau (taukah engkau) wahai langita (wahai langit)
Ku ingin bertemu membelai wajahnya (ku ingin bertemu membelai wajahnya)
Dan kupasang hiasan angkasa yang terindah
Hanya untuk dirinya
Lagu rindu ini ku ciptakan
Hanya untuk bidadari ku tercinta
Walau hanya ada sederhana
Izin kan ku ungkap segenap rasa dan kerinduan
(Kerispatih – Lagu Rindu)
Plok… plok… plok…
Tepuk tangan riuh membahana di segala penjuru lapangan. Suara merdu yang menyanyikan lagu itu dengan penuh penghayatan. Sehingga orang-orang yang mendengarnya ikut hanyut dalam nyanyian itu. Banyak pujian terlontar seusai lagu itu selesai dinyanyikan. Memang suara orang yang sangat terkenal di sekolah ini sangatlah indah. Banyak yang tertegun saat mendengarnya.
Gadis mungil itu meneteskan air mata. Dia terharu dengan lagu yang dinyanyikan orang yang tadi dicari keberadaannya. Jari telunjuknya menghapus butiran-butiran air yang mengalir sedikit-demi-sedikit di pipinya. Lalu dia bertepuk tangan lagi. Dia jadi semakin kagum dengan orang itu.
***
“Io…” teriak gadis manis itu kesal.
“Kenapa sih?” tanya lelaki yang dipanggil Io tadi.
“Balikin gak!” perintahnya. Gadis itu mengejar laki-laki tadi. Laki-laki tadi menambah kecapatan berlarinya lagi. Dia tak mau tertangkap oleh gadis itu.
“Io rese’ deh! Please balikin dong ah. Io…!” teriaknya semakin kesal.
“Gak mau! Week…,” lelaki itu menjulurkan lidahnya. Dia masih tetap berlari.
Gadis itu berhenti. Napasnya terengah-engah, dadanya naik turun. Dia mengatur napasnya terlebih dahulu lantas berkacak pinggang. Lelaki itu menjulurkan lidahnya, berlari menyebrang jalan menuju rumahnya. Gadis itu mengikuti lelaki tadi dari belakang sambil berlari. Dia tak mau kotak yang direbut oleh lelaki tadi dilihat isinya. Dia tak mau rahasiannya slama ini terbongkar.
Gadis itu menyebrang jalan tanpa menengok ke kiri dan kanan. Tubuhnya seketika kaku melihat apa yang ada di kanannya semakin mendekat kearahnya. Dia seakan tak bisa bergerak. Otot-otot kakinya seakan tak berfungsi lagi sehingga kedua kakinya tak bisa digerakkan. Dia hanya bisa terpaku melihat pemandangan itu. Sehingga membuat………
Bersambung….
comment on my FB: Entin Endah Cahyati




0 komentar:
Posting Komentar